BAKUL ANGKRINGAN YANG WALI.

Suatu sore, jelang Maghrib. Seorang laki laki pergi ke Masjid. Ia lupa mematikan (silent mode) smartphone nya, dan secara tiba-tiba berdering waktu jamaah sedang berdoa. Seorang takmir juga pengkhotbah menegurnya dari depan. Beberapa orang memarahinya usai berdoa karena dia sudah mengganggu kekhusukan dan ketenangan mereka ketika berdoa.

Dalam perjalanan pulang, Istrinya terus memarahinya karena keteledorannya sepanjang jalan pulang ke rumah. Orang-orang tampak melihatnya dengan pandangan sinis dan bibir nyinyir, menertawakannya, dan meremehkannya.

Rasa salah dan penyesalan membuncah. Makan malam tek sempat di kunyah, rokok Surya gagal di bakarnya. (Emmm….nampaknya NU dia amaliahnya plus udud🤣). Kalut. Remuk. Ambyar perasaannya. Dirinya mengalami perudungan luar dalam. Luar rumah dan di dalam rumah, bahkan di perjalanan suci pulang jamaah.

Keutamaan beragama yang digembar gemborkan si ustadz yang beberapa bulan berubah penampilannya menjadi sangar dan galak, dengan aksesoris external yang telah beda. Katanya ia telah hijrah. Meninggalkan janggut mulis menuju jenggot gambreng. Menanggalkan sarung menjadi sirwal. Melakukan face over menjadi bulatan hitam di jidatnya. Panggilan dari bapak ke Abu. Ibu ke Umi. Sedulur menjadi akhi. Dan, ia juga berhijrah, dari keluarga dan pribadi yang dulu ramah sekarang mengedepankan marah, dulu senyum sekarang nyinyir.

Khutbah dan mauidzahnya berubah. Ia kini selalu menghujat pemerintah. Menghujat Bangsa, menyalahkan sesama yang berbeda cara bercelana. Ia pun menutup akses khatib sejuk dan mendamaikan, yang memegang kata kunci monggo samiyo… katanya kuno, konserfativ dan tidak berkemadjoean!. Entah apa yang merasukinya.

Aku menjadi sasarannya hari ini. Aku menjadi korban hari ini. Dan aku tidak akan membiarkan anak²ku menjadi sasaran berikutnya. Aku khawatir anakku tidak lagi mengenal wirid bakda shalat. Tidak mau mengirim Fatihah dan doa kepada semesta raya dalam tahlilan dan wiridan. Tidak mau lagi ziarah simbah dan buyutnya yang telah tiada. Tidak. Anakku investasiku dan simbah-buyutnya. Begitu ia bertutur di Angkringan.

Oke. Selanjutnya ia menengadah, Maafkan aku Ya Allah, Tuhan yang mengasihiku. Dan, sejak itu, ia memutuskan untuk tidak pernah lagi melangkahkan kakinya ke Masjid al Kadruny yang dibangun moyangnya dulu. Masjid yang kini berbadan Kotak seperti SpongeBob.

DAN

Malamnya, ia pergi ke cafe ndeso, anhkringan, hik dalam bahasa Cawas dan sekitarnya. Masih merasa gugup dan terguncang, ia tidak sengaja menumpahkan minumannya di meja item kucel tapi klimis, penuh noda kopi dan gorengan². Pelayan hik dengan sigap meminta maaf dan memberikan lap bersih untuk membersihkan pakaiannya. Crew Angkringam hang lain mengepel dingklik. Manajer Angkringan, piyayi Bayat yang berkethu putih itu memberikan minuman pengganti. Ia juga memberikannya kehangatan srawung serta berkata “Jangan kuatir, Mas. Siapa sih yang tidak pernah berbuat salah?” Nyless. Adem atiku, bisiknya. Ia punya harapan untuk menjadi baik, karena berintetaksi dengan orang baik.
Sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti datang ke Angkringan depan Gedung sebuah parpol itu. Sekedar membangun srawung dan sopo aruh.

HAI GAESS….

Terkadang sikap kita sebagai orang beriman dan percaya malah mengantarkan jiwa-jiwa ke neraka. Kita memagari #MAGER mengekslusifkan diri kita seakan kita adalah orang² yang paling suci.

Bagaimana kita bicara tentang memenangkan jiwa, bila fokus kita adalah kesalahan2 orang lain saja?
Mari asah kembali mata hati kita, bukan soal siapa benar ataupun siapa salah, namun respon kita yang menentukan akhir dari sesrawungan kita.

Taggar kita hari ini…
#marahtidakmenyelesaikanmasalah

Tabi’

Pojokan U Center,

29012020